Wednesday, December 28, 2011

repost: jika sesama ekonom menikah

wah. gue repost lho! tapi ini artikel menarik buat gue baca. dan terkadang sampe gue ketawa ketiwi sendiri..

eits, jangan salah sangka. bukan berarti ada dambaan hati yang lagi kuliah di ekonomi. santaai bukan ada maksud itu. tapi ya lucu aja kalo bener bener terjadi seperti ini. hadeeeh

*efek sering digosipin oleh tetangga sebelah* *berasa ganteng* *ke-PD-an*


nah ini artikelnya. selamat menikmati :D

" Oleh: Aulia Rachman Alfahmy


Oke, karena berkali-kali saya melihat teman saya yang satu kuliah di jurusan Ilmu Ekonomi menikah dengan sesama jenisnya (maksudnya sesama jurusan Ilmu Ekonomi, hehehe), saya jadi tertarik membuat sebuah tulisan non-ilmiah (emangnya selama ini Ilmiah ya?) yang bertajuk “Jika Sesama Ekonom Menikah”.

Awal Mula Bertemu
Saya pesimis jika sesama ekonom kali pertama bertemu pasangan yang telah dinikahinya adalah cinta pertamanya. Maksudnya, seperti halnya teori prilaku konsumen, seorang ekonom biasanya memulai dengan kegiatan memilah dan memilih “kombinasi-kombinasi” terbaik. Kombinasi-kombinasi terbaik mana yang terbaik atau bahasa teknisnya “memberikan utilitas yang optimal”. Tentu saja dengan melihat kondisi internal yang dimiliki dalam diri ekonom tersebut.
Mana yang dipilih, si A cantik dengan nilai 90, tapi pintarnya Cuma 65. Di sisi lain si B, cantiknya 70 tapi pintarnya 90. Nah, ekonom tentunya milih-milih nih, mana yang paling ‘click’ di hatinya. Jadi jangan percaya sama ekonom gombal yang bilang “You’re the first and the only one”. Gombal! (kecuali saya, bolehlah kalian percaya :P). Otak rasional ekonom selalu lebih menonjol.
Masalahnya adalah bagaimana kasusnya jika sesama ekonom saling menikah? Mungkin anekdot yang paling dekat dengan kasus ini adalah anekdot yang ada dalam kuliah Game Theory, di mana di teori tersebut disebutkan bahwa “si A berasumsi bahwa si B berasumsi si A berasumsi si B itu bersikap rasional”. Jadi, mereka sesama ekonom ketika akhirnya memilih pasangan ekonomnya, sudah benar-benar sadar bahwa mereka telah melalui proses “teori-teori ekonomi yang kompleks”.

Resepsi Menikah
Idealnya, ketika memutuskan menikah dan melakukan resepsi, sesama ekonom akan mengkonstrusikan bahwa acara resepsi perenikahan adalah bagian dari investasi jangka panjang keluarganya. Biasanya akan dihitung-hitung berapa nih biaya yang keluar dan pendapatan yang masuk dari acara resepsi pernikahan baik berupa uang tunai atau barang. Mereka akan menghitung, jika biaya resepsi Rp50 juta, maka at least pemasukan dari acara baik berupa amplop (uang) atau hadiah barang nilai sama dengan lebih dari Rp50juta. Hehehehehe…
Tapi jika sesama ekonom yang menikah sudah memiliki budget yang besar, maka mereka akan kembali memfokuskan pada “optimalisasi utilitas” terutama dari sisi yang tidak terlihat (intangible). Seperti kepuasan batin, membahagiakan orang tua, dan membahagiakan segenap keluarga dan teman-temannya dalam semua momentum yang tidak terlupakan: pernikahan (terus gue kapan dong nikah! :P).


Memulai Rumah Tangga
Biasanya hal paling krusial yang mereka akan bahas adalah apakah mereka berdua sama-sama masuk ke dalam pasar tenaga kerja, ataukah mereka melakukan pembagian tugas, sang Ayah bekerja dan sang Ibu di rumah sebagai Ibu rumah tangga, atau mungkin sebaliknya.
Sebagai seorang ekonom, idealnya mereka tidak akan merasa “hina” jika dikatakan bekerja di rumah. Ini yang mungkin dikenal dengan underground economic. Menyapu, mengepel, membersihkan rumah, memasak dan menyediakan makanan di rumah juga memiliki nilai ekonomi. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang tidak tercatat di dalam GDP, begitu kata dosen-dosen di ruang kuliah. Jadi pasti ada kos yang keluar dalam setiap kegiatan di rumah. Mungkin proxy-nya adalah dengan melihat besarnya upah pembantu rumah tangga (PRT). Jika biaya kegiatan di rumah Rp1juta sedangkan bekerja di pasar tenaga kerja bisa mendapatkan Rp5jt, jadi surplusnya adalah Rp4jt.
Masalahnya sekarang apakah nilai Rp4jt ini adalah lebih memuaskan ketimbang nilai kepuasan jika salah satu istri atau suaminya ada di rumah. Menjaga rumah, menyambut ketika pulang, melayani kepuasan lahir dan batin di waktu malam (jangan mikir jorok ya! :P) bisa jadi lebih bernilai dari Rp4jt. Nah, di sinilah seninya, jika sesama ekonom yang menikah, mereka akan benar-benar menghitung mana tingkat kepuasan yang paling optimal buat mereka berdua. Keputusan akan berkembang sampai mereka memiliki anak. Apakah anak mereka dirawat oleh Ibu atau Ayah? Atau mereka mempercayakan pada baby sister? Atau di rawat oleh kakek-nenek mereka? Sesama ekonom akan tetap menghitung-hitung mana yang paling optimal bagi kehidupan mereka.

Pembicaraan dalam Rumah Tangga
Mungkin saja terjadi dalam satu rumah tangga sesama ekonom mereka memiliki “kepercayaan” atas mahzab yang berbeda-beda. Misalnya yang satu klasik, yang satunya lagi Keynesian atau bahkan marxis. Hehehehe. Ini akan berpengaruh pada filosofi-filosofi pengambilan kebijakan rumah tangga. Misalkan, apakah pilihan anak harus diarahkan? Ataukah membebaskan anak memilih jalan hidupnya? Seorang Keynesian yang percaya pentingnya intervensi pemerintah, mungkin lebih suka jika anaknya di arahkan. Yang gawat jika pasangannya adalah seorang neo-klasik sejati, yang percaya bahwa peran pemerintah itu terbatas bagi sebuah negara, apalagi perekonomiannya. Maka, alih-alih membicarakan masa depan anaknya, mungkin mereka akan berdebat teoretis, empiris dan filosofis mana mahzab yang paling mendekati kebenaran dan kasus keluarganya. Terus si anak akan bengong jadi obat nyamuk dong?
Ini juga berpengaruh pada gaya mereka dalam mengatur keuangan rumah tangga. Seberapa besar defisit rumah tangga? Seorang Keynesian atau fiskalis mungkin lebih mencintai defisit anggaran yang tinggi agar perekonomian rumah tangga bisa berjalan dengan kencang. Seorang mahzab klasik atau monetaris lebih suka defisit anggaran yang rendah atau kalau bisa tidak ada sama sekali. Mereka lebih suka saving yang dipercaya sebagai faktor kunci pertumbuhan perekonomian rumah tangga dalam jangka panjang. Bisa dibayangkan di malam hari sebelum tidur, mereka akan berdiskusi masalah rumah tangga layaknya membicarakan perekonomian sebuah negara. “Mah kita harus banyak nabung..karena menurut teori pertumbuhan jangka panjang dari Sollow.. bla bla bla”. Kata si Pria. “Nggak Pah, menurut Keynes dalam kondisi perekonomian seperti ini kita harus memperbanyak konsumsi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi…”. Capek deh.. terus kapan dong senang-senanganya :P

Jika Mereka Akhirnya Menjadi Pejabat Ekonomi
Ini yang paling gawat. Bayangkan jika si Ayah adalah Gubernur BI dan si Ibu adalah Menteri Keuangan. Si Ayah di kantor berpikir keras bagaimana caranya agar harga stabil, kurs stabil dan inflasi stabil dengan kebijakan-kebijakan yang kontraksi, seperti menjaga jumlah uang beredar dan lain sebagainya. Si Ibu di kantor sedang merancang bagaimana anggaran dialirkan sempurna sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat dan secara keseluruhan meningkatkan pertumbuhan sebuah negara. Pokoknya segala kebijakan yang ekspansif.
Nah, sang ayah ingin kebijakan kontraktif, sedangkan si Ibu menginginkan kebijakan ekspansif. Maka pertengkaran di rumah adalah pertengkaran negara. Pertengkaran antara bank sentral dan pemerintah juga harus terjadi di atas ranjang. Mungkinkah itu akan terjadi?

Nothing Personal, It’s Just a Good Business  
Setiap rumah tangga, pasti akan mengalami prahara. Baik bersumber dari masalah ekonomi rumah tangga maupun pertengkaran kecil yang tidak penting. Dari sekian banyak penjelasan di atas yang seolah-olah “menyudutkan” pasangan sesama ekonom, mungkin bright side-nya adalah kebanyakan pertengkaran mereka mungkin saja pertengkaran “profesional”. Nothing Personal, It’s Just a Good Business. Hehehehe.
Setelah mereka bertengkar, mereka akan lebih cepat saling sayang-menyayangi kembali. Jadi kemungkinan pertengkaran sesama ekonom akan lebih cepat mereda karena mereka terbiasa berbeda pendapat sejak mereka sama-sama masih kuliah. Jadi, kemungkinan lagi, hubungan sesama ekonom akan lebih langgeng dan memiliki nilai kepuasan pernikahan yang lebih bertahan lama. Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, “mereka sesama ekonom ketika akhirnya memilih pasangan ekonomnya, sudah benar-benar sadar bahwa mereka telah melalui proses ‘teori-teori ekonomi yang kompleks’, maka mereka akan sangat yakin dengan pilihan hidup mereka adalah pilihan hidup yang baik dan paling optimal dalam hidup mereka.
Nah, sudah tahu kan kalau menikah dengan ekonom itu banyak untungnya? Wkwkwkkwkw"
yang empunya ekonom gila

yah lagi pulakan mainstream jodohnya anak ekonomi itu anak kedokteran. tapi ingat ingat itu hanya mainstream dan selera orang pun beda beda :D 

2 comments:

Unknown said...

Makasih ya sudah di-share ceritanya :D

MuhammadSyahril said...

Sama sama kakanya :D