Tuesday, November 17, 2009

kode etik jurnalistik (dari berbagai sumber dengan perubahaannya) part 2

Oleh karena itu sebenarnya tidak perlu dipertanyakan apa yang menjadi batasan kebebasan pers. Juga tidak perlu dipersoalkan apa yang menjadi batasan tanggung jawab pers. Sebab semuanya itu bermuara kepada kode etik jurnalistik sebagai landasan moral profesi. Dalam arti, kode etik itulah yang menjadi batas kebebasan pers dan kode etik itu jugalah yang menjadi acuan dan pegangan tanggung jawab wartawan dalam melaksanakan kebebasan pers. Pokoknya, kebebasan pers harus dilaksanakan di atas rel kode etik.

Seperti diketahui, ada tiga kode etik profesi yang diakui secara luas dalam masyarakat. Ketiga kode etik profesi itu adalah kode etik kedokteran, kode etik advokat, dan kode etik wartawan. Memang ada juga beberapa profesi yang memiliki kode etik. Namun yang diakui secara luas dalam masyarakat adalah kode etik ketiga profesi tadi. Pengakuan secara luas dalam masyarakat tersebut sekaligus menuntut tanggung jawab yang besar dari para pengemban profesi, termasuk para wartawan.

Lebih-lebih jika dikaji lebih jauh ternyata pembentuk undang-undang telah memperlakukan kode etik wartawan secara lebih khusus. Ketentuan bersifat normatif dalam kode etik jurnalistik telah diangkat menjadi ketentuan hukum positif, seperti "hak tolak", "hak jawab", dan "hak koreksi". "Hak tolak", misalnya, diatur dalam Pasal 4 ayat (4) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatakan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Kemudian dalam Penjelasan dikatakan, tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan. Tapi proses pembatalan Hak Tolak tidak dengan sendirinya, dalam arti harus dibentuk majelis hakim tersendiri yang memutuskan apakah perkara yang tengah diperiksa pengadilan itu menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum. Apabila majelis hakim memutuskan bahwa perkara itu menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum, maka gugurlah Hak Tolak wartawan bersangkutan. Dengan kata lain, harus mengungkapkan siapa yang menjadi sumber berita anonim tadi. Sebaliknya, apabila majelis hakim memutuskan bahwa perkara yang tengah diperiksa tidak menyangkut keselamatan negara atau ketertiban umum, maka Hak Tolak wartawan tersebut harus tetap dihormati.

Menurut Prof. Oemar Seno Adji SH dalam bukunya, Pers, Aspek-aspek Hukum, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1974, “hak ingkar” merupakan suatu kekecualian terhadap aturan umum yang memberikan kewajiban hukum kepada setiap orang untuk memberikan keterangan sebagai saksi di muka pengadilan. Bagi kategori-kategori tertentu kewajiban hukum ini tidak diberikan; mereka dibebaskan dari pemberian keterangan sebagai saksi dan para wartawan mengingini kedudukannya dalam salah satu kategori tersebut, yaitu termasuk orang-orang yang karena jabatannya wajib menyimpan rahasia.

Harus diakui bahwa diangkatnya ketentuan normatif atau Hak Tolak menjadi ketentuan hukum positif, jelas merupakan suatu pengecualian terhadap ketentuan umum terutama dalam perkara pidana. Tetapi diangkatnya ketentuan Hak Tolak yang bersumber dari kode etik jurnalistik ini merupakan privelese yang diberikan oleh pembuat undang-undang terhadap wartawan di dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya.

Berkenaan dengan Hak Tolak ini, Pasal 13 Kode Etik Jurnalistik PWI (lazim disingkat KEJ-PWI) mengatakan, wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data, bukan opini. Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.

Memang kode etik profesi lain seperti dokter dan advokat juga mengenal "hak tolak" atau sering juga disebut "hak ingkar". Akan tetapi, menurut keterangan, "hak tolak" tersebut masih terbatas pada doktrin atau ilmu hukum. Kenyataan itu sekali lagi memberi petunjuk betapa "hak tolak" wartawan mendapat perhatian khusus dari pembentuk undang-undang. Lepas dari plus-minus atau untung-rugi serta konsekuensi atas pengakuan hak itu oleh hukum positif bagi pelaksanaan tugas para wartawan.

Sebab ada pendapat yang mengatakan seharusnya ketentuan yang bersifat normatif tidak perlu dimasukkan ke dalam hukum positif. Tetapi pendapat lain mengatakan, dimasukkannya ketentuan normatif tadi ke dalam hukum positif akan lebih memperkuat dasar hukum pelaksanaan tugas wartawan, khususnya menyangkut "hak tolak" dimaksud. Hanya saja, memang sebagai ketentuan hukum maka sanksinya pun dengan sendirinya berubah menjadi sanksi secara hukum. Lain halnya dengan ketentuan yang bersifat normatif, maka sanksi atas pelanggarannya tentunya terbatas secara moral saja.

Masih menyangkut norma etik dan norma hukum ini, anggota Dewan Kehormatan PWI periode 1968-1970, Prof. Oemar Seno Adji, SH, dalam bukunya Mass Media dan Hukum membedakan secara jelas antara norma etik dan norma hukum. Selain membedakan, pakar hukum pidana dan hukum pers Fakultas Hukum UI tersebut juga menekankan hakikat kode etik. Dikatakan, hukum memang memberi kewenangan-kewenangan, di samping kewajiban-kewajiban.

Oleh karena itu, hukum bersifat normatif dan atributif karena hukum bertujuan untuk memberikan suatu "ordening" dari masyarakat. Dalam hal demikian, hukum adalah distinct dari moral yang bertujuan menyempurnakan manusia. Jikalau kehidupan manusia digambarkan memiliki dua aspek, yakni manusia sebagai individu dan manusia sebagai mahluk sosial, maka moral lebih mengenai manusia sebagai individu, sedangkan hukum itu lebih bersangkutan dengan masyarakatnya. Jadi, hukum di satu pihak dan moral di lain pihak berbeda, baik dalam tujuannya maupun dalam isinya. Dengan demikian, moral adalah otonom dan hukum heteronom. Jelaslah bahwa hukum itu adalah normatif dan atributif sifatnya, sedangkan moral normatif belaka karena hanya memberikan kewajiban-kewajiban, demikian kata mantan Ketua Mahkamah Agung RI itu.

Berangkat dari pembedaan seperti itu, guru besar hukum pidana dan hukum pers Fakultas Hukum UI tersebut menegaskan bahwa aturan profesional (professional regulations) tidak memuat aturan hukum tertentu yang heteronoom sifatnya melainkan ia dapat dihubungkan dengan aturan-aturan yang "self-imposed" yang bermaksud menjamin "independence" dari profesi dan mengandung standar etis moral.

Jadi, etik itu umumnya mengandung moral profesi, yang dengan demikian tidak mensyaratkan peraturan "uitwendig" dari manusia, melainkan ia menanyakan "gezindheid"-nya wartawan bersangkutan. Ia tidak mempersoalkan adanya kekuatan luar yang dapat menegaskan kehendaknya terhadap wartawan tersebut, seperti halnya dengan hukum, melainkan mengikat mereka dengan kehendaknya sendiri. Sebagai moral profesi ia adalah otonom sifatnya, berakar pada hati nurani manusianya sendiri dan berasal dari kekuatan di dalamnya sendiri.

Memang antara norma etik dan norma hukum sangat erat kaitannya. Sebab ada hal-hal yang dilarang oleh norma etik juga dilarang oleh norma hukum. Demikian sebaliknya, ada hal-hal yang dilarang oleh norma hukum juga dilarang oleh norma etik. Namun, norma etik dan norma hukum tidak identik. Karena bisa terjadi perbuatan pidana secara hukum dapat dimaafkan, tetapi secara etik tidak.

Contohnya dalam keadaan force majeure atau keadaan darurat dan membela diri mengakibatkan kerugian bagi orang lain, apabila terbukti sah secara hukum melalui pemeriksaan di sidang pengadilan, perbuatan tersebut dapat dimaafkan.

Akan tetapi, bagaimanapun perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain secara etik tidak bisa dimaafkan. Contoh ekstrem yang lazim diberikan, dua orang dalam sebuah sampan di tengah laut tiba-tiba diterpa angin kencang dan ombak besar sehingga salah seorang dari mereka harus dikorbankan untuk menyelamatkan diri.

Secara hukum, perbuatan mengorbankan nyawa orang lain tadi apabila dapat dibuktikan sah secara hukum akibat keadaan darurat atau membela diri, maka perbuatan itu dapat dimaafkan, tetapi secara etik tidak.

Selain masalah kaitan antara norma etik dan norma hukum, dalam kode etik jurnalistik ada dua hakikat atau dapat juga disebut prinsip yang menjadi kekuatan dari ketentuan bersifat normatif tersebut. Yaitu, kode etik dikualifikasi sebagai bersifat personal dan bersifat otonom. Seperti dikemukakan, kedua prinsip tadi sekaligus merupakan kekuatan dari kode etik itu sendiri sehingga memiliki daya paksa untuk melaksanakannya bagi para pengembannya.

Prinsip personal inilah yang perlu dielaborasi lebih lanjut. Mengapa kode etik bersifat personal? Tidak lain karena kode etik itu sendiri dibuat dari, oleh dan untuk para wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi profesi, kemudian mereka berikrar untuk melaksanakan dan menaatinya. Hakikat itu mengandung arti bahwa sebenarnya tidak ada satu pihak pun yang memaksa seorang wartawan untuk menaati kode etiknya. Yang memerintahkan atau yang memaksa wartawan menaati kode etik tidak lain adalah hati nuraninya, mengingat yang menyusun, merumuskan, dan menyepakatinya adalah dirinya sendiri. Itulah sebabnya, dalam Pasal 16 KEJ-PWI ditegaskan, wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa penaatan kode etik jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.

Seperti diketahui, prinsip personal kode etik ini tertuang secara jelas dan tegas dalam KEJ-PWI. Prinsip personal inilah yang menjadi kekuatan KEJ-PWI. Prinsip personal KEJ-PWI tersebut diatur dalam bab tersendiri berjudul: Kekuatan Kode Etik, meskipun rumusannya berbeda dari waktu ke waktu namun esensinya tetap menekankan bahwa penaatan kode etik tergantung pada hati nurani para wartawan. Itulah sebabnya, KEJ-PWI dikatakan bersifat personal.

Sebagai contoh, KEJ-PWI hasil penyempurnaan tahun 1961 mengatakan, “Kode Djurnalistik PWI ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggungandjawab tentang penaatan etik djurnalistik pada bahu para wartawan sendiri dan tidak akan mengurangi penegakan hukum oleh jang berwewenang, apabila pelanggaran Kode Djurnalistik PWI ini melampaui batas-batas hukum. Kemudian rumusan tersebut lebih disederhanakan pada penyempurnaan KEJ-PWI tahun 1973 yang berbunyi, Kode Ethiek Jurnalistik Wartawan Indonesia ini dibuat atas prinsip bahwa pertanggungan-jawab tentang penaatannya terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.”

Lebih lanjut pada penyempurnaan KEJ-PWI hasil Kongres XX PWI di Semarang pada 10-11 Oktober 1998, rumusan yang ada sebelumnya diganti dengan menyatakan, wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa penaatan kode etik jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.

Selain prinsip personal tadi, kode etik jurnalistik juga menganut prinsip bersifat otonom seperti dikemukakan di atas. Baik prinsip personal maupun otonom merupakan kekuatan kode etik jurnalistik. Kedua prinsip yang melekat dengan KEJ-PWI tersebut bertolak atau bersumber dari hakikat kode etik itu sendiri yang dibuat oleh, dari, dan untuk para wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi profesi, kemudian berikrar untuk menaati dan melaksanakannya. Demikianlah seharusnya, karena kode etik tersebut disusun dan dirumuskan oleh para wartawan dan kemudian berikrar untuk mengamalkannya. Itu berarti, penaatan atas kode etik bukan karena ada pihak lain di luar diri wartawan bersangkutan yang memerintahkan atau memaksakan penaatan dan pelaksanaannya, melainkan karena kesadaran sendiri sekaligus sebagai konsekuensi dari ikrar untuk menaatinya. Prinsip personal tadi dengan sendirinya pula membawa konsekuensi. Yaitu, sebagai akibat bahwa kode etik dibuat oleh, dari, dan untuk para wartawan yang kemudian berikrar untuk menaatinya sehingga bersifat otonom, maka dengan sendirinya yang memutuskan telah terjadi pelanggaran atas kode etik serta penetapan sanksi atas pelanggaran tersebut sepenuhnya menjadi wewenang organisasi profesi.

2 comments:

Firsty said...

good bal

Unknown said...

"Hi!..
Greetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
Ejurnalism