Atas dasar itulah dikatakan kode etik bersifat otonom. Jadi, yang mengawasi, memonitor serta memeriksa atau mengadili ada tidaknya pelanggaran kode etik sepenuhnya menjadi wewenang organisasi. Demikian juga yang menetapkan sanksi atas pelanggaran tersebut adalah hak organisasi.
Kewenangan ini diatur dengan jelas dan tegas dalam Pasal 17 KEJ-PWI yang mengatakan, wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI. Tidak satu pihak pun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasar pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini. Berdasarkan prinsip personal dan otonom inilah sudah sejak semula tokoh pers nasional menyatakan sikap bahwa kode etik jurnalistik tidak dapat digunakan pihak lain untuk menghukum pers.
Dan sebagai konsekuensi dari prinsip personal dan otonom itu, PWI melakukan penyempurnaan dan penyesuaian dalam Peraturan Dasar PWI (PD-PWI) mengenai keanggotaan Dewan Kehormatan PWI. Seperti diketahui, sejak semula yang menjadi anggota Dewan Kehormatan PWI adalah tokoh-tokoh masyarakat atau kombinasi tokoh masyarakat dan wartawan anggota PWI. Akan tetapi dalam Kongres XX PWI di Semarang, Jawa Tengah pada 10-11 Oktober 1998, komposisi keanggotaan Dewan Kehormatan tersebut diubah. Dalam Pasal 21 ayat (4) PD-PWI ditetapkan, yang menjadi anggota DK-PWI dan DKD-PWI adalah sekurang-kurangnya sudah lima tahun menjadi anggota PWI. Itu berarti, yang menjadi anggota DK-PWI seluruhnya terdiri dari para wartawan, tidak ada lagi yang mewakili tokoh masyarakat.
Padahal tadinya dalam sejarah keanggotaan DK-PWI pada umumnya terdiri dari tokoh masyarakat. Sebagai contoh, keanggotaan DK-PWI untuk pertama kali tahun 1952 praktis terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat seperti H. Agus Salim, Mr. Moh. Natsir, Prof. Dr. Soepomo dan Roeslan Abdulgani. Dan dalam DK-PWI periode berikutnya banyak tokoh masyarakat duduk di dalamnya seperti Prof. Oemar Seno Adji, Soedjarwo Tjondronegoro, SH, Manai Sophiaan, Ali Alatas SH, Prof. Padmo Wahjono, Dr. M. Alwi Dahlan, H. Soekarno, SH, Prof. Dr. Zakiah Daradjat. H. Boediardjo, Prof. Dr. Ihromi MA, Prof. Dr. H. Loebby Loqman, SH, Dr. A. Alatas Fahmi, Dra. Ina Ratna Mariani MA, Dr. Din Syamsuddin.
Barulah pada Kongres XVIII PWI di Samarinda, Kalimantan Timur tahun 1988 untuk pertama kalinya dua orang anggota PWI aktif menjadi anggota DK-PWI secara kelembagaan yaitu Drs. Djafar H. Assegaff sebagai ketua dan R.H. Siregar, SH sebagai sekretaris. Kombinasi antara tokoh masyarakat dan anggota PWI dalam komposisi keanggotaan DK-PWI berlanjut hingga Kongres XIX PWI di Lampung pada 1993. Tetapi dalam Kongres XX PWI di Semarang 1998, diadakan perubahan terhadap PD-PWI dan ditetapkan bahwa yang menjadi anggota DK-PWI semuanya terdiri dari anggota PWI. Dengan kata lain, sejak Kongres XX itu tidak ada lagi anggota DK-PWI yang mewakili unsur masyarakat.
Dalam Pasal 21 ayat (4) PD-PWI ditegaskan, Anggota Dewan Kehormatan maupun Anggota Dewan Kehormatan Daerah adalah wartawan yang telah berusia 40 tahun dan sudah menjadi anggota PWI sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Sedangkan ketentuan sebelumnya tidak mensyaratkan keanggotaan PWI. Jadi, siapa saja warga negara RI, berdomisili di Indonesia dan berumur sekurang-kurangnya 40 tahun serta yang mempunyai keahlian, menaruh minat dan berjasa terhadap perkembangan pers nasional serta menghormati dan mengakui Kode Etik Jurnalistik PWI, dapat dipilih menjadi anggota Dewan Kehormatan PWI. Komposisi keanggotaan DK-PWI seperti sekarang, yaitu seluruhnya terdiri dari wartawan anggota PWI, merupakan konsekuensi prinsip personal dan prinsip otonom tadi. Sebab dalam Pasal 16 KEJ-PWI ditegaskan, wartawan anggota PWI menyadari sepenuhnya bahwa penaatan Kode Etik Jurnalistik terutama berada pada hati nurani masing-masing. Ketentuan Pasal 16 KEJ-PWI inilah yang menjadi sumber prinsip personal dimaksud. Karena dalam pasal sebelumnya, yaitu Pasal 15 KEJ-PWI, telah ditegaskan bahwa wartawan anggota PWI harus dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Jurnalistik PWI dalam melaksanakan profesinya.
Dengan demikian jelaslah, tidak ada pihak di luar diri wartawan bersangkutan yang memaksa mereka harus melaksanakan kode etik. Dengan kata lain, hati nurani wartawan bersangkutan itulah yang memaksa dirinya melaksanakan kode etik karena telah berikrar untuk menaatinya.
Konsekuensi prinsip personal ini tidak bisa tidak adalah prinsip otonom tadi. Seperti dikatakan, kode etik dibuat oleh, dari, dan untuk para wartawan yang tergabung dalam PWI. Mengingat kode etik disusun dan dirumuskan sendiri oleh para wartawan anggota PWI kemudian berikrar untuk menaati, maka dengan sendirinya kalau terjadi pelanggaran, pihak yang memutuskan dan yang menetapkan sanksi atas pelanggaran itu adalah organisasi seperti ditegaskan dalam Pasal 17 KEJ-PWI: “Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI. Tidak satu pihakpun diliuar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasar pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.” Inilah yang disebut prinsip otonom dari Kode Etik Jurnalistik PWI.
Berangkat dari prinsip otonom itu, maka tidak ada satu pihak pun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan anggota PWI dan atau medianya berdasar pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik PWI. Oleh karena itu tidak tepat kalau ada pihak lain di luar PWI yang memvonis telah terjadi pelanggaran kode etik. Paling-paling kalau ada pihak-pihak yang dirugikan oleh pemberitaan pers dan menganggap wartawan..
semoga bermanfaat.. :D
No comments:
Post a Comment